Janji Yang Belum Terpenuhi: Perjalanan Kisah Kompensasi Tanah di Indonesia

5
(3)

Menyelami inti perjuangan panjang Indonesia untuk kompensasi tanah yang adil, mulai dari keputusan pemerintah penting tahun 1958 hingga kemenangan bersejarah di Mahkamah Konstitusi tahun 2024 yang mengubah preseden hukum.

Pendahuluan

Bayangkan Anda memiliki sebidang tanah, tetapi tiba-tiba tanah tersebut dinyatakan sebagai milik negara, dengan janji kompensasi yang tidak pernah terwujud. Kisah ini bukan fiksi, melainkan realita bagi beberapa pemilik tanah di Indonesia sejak tahun 1958, yang berujung pada odisei hukum hingga keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2024. Ksah kompleks saga kompensasi tanah di Indonesia bukan sembarang kisah namun sebuah cerita tentang ketekunan, pertarungan hukum, dan pencarian keadilan.

Perjalanan panjang dan berliku telah menjadi saksi bisu bagi para pemilik tanah partikelir di Indonesia, yang tanahnya diambil oleh negara dengan janji kompensasi yang menggantung. Kisah ini bukan sekadar cerita tentang tanah dan ganti rugi; ini adalah narasi tentang keadilan, hak, dan perjuangan yang tak kenal lelah melawan sistem yang tampaknya tidak tergoyahkan. Mari kita selami lebih dalam kisah yang dimulai pada tahun 1958 dan berlanjut hingga keputusan monumental Mahkamah Konstitusi pada tahun 2024.

Babak Awal: Penghapusan Tanah Partikelir

Tahun 1958 menjadi titik tolak ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir yang dilekatkan hak-hak pertuanan, mengubah statusnya menjadi tanah negara. Pada masa itu, pemerintah menjanjikan ganti rugi kepada para pemilik tanah, sebuah proses yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agraria No.SK/19/Depag/64 tertanggal 26 Agustus 1964. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah rangkaian kekecewaan dan penantian yang tak berujung.

Pertarungan Hukum yang Tak Kunjung Usai

Seorang warga Indonesia, pemilik tanah partikelir yang terkena dampak kebijakan penghapusan tanah tahun 1958, berhak mendapatkan ganti rugi. Namun, pembayaran ganti rugi tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh pemerintah, memaksa ahli waris pemilik tanah untuk mengajukan gugatan ke Menteri Agraria di PTUN Jakarta pada tahun 2022. Putusan PTUN yang menguntungkan penggugat tidak membuat pemerintah berhenti; mereka terus mengajukan banding dan kasasi, namun selalu berakhir dengan kekalahan.

Mahkamah Agung dan Perjuangan yang Berlanjut

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menilai jika tindakan pemerintah dengan tidak melakukan pembayaran ganti rugi adalah perbuatan melawan hukum. Namun, putusan ini tidak langsung mengubah nasib para pemilik tanah; pemerintah memilih untuk menunda pembayaran dengan alasan sedang mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK).

Kaidah Hukum dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 184 K/TUN/TF/2023

“Bahwa oleh karena tindakan Tergugat tidak melakukan perbuatan konkret berupa tidak melaksanakan pembayaran ganti rugi berupa uang kepada Pihak Penggugat bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan, bertentangan dengan kewajiban hukum (proximate omission) Tergugat sendiri dan melanggar hak subyektif Penggugat, maka Perbuatan Tidak Bertindak (Omission) oleh Tergugat yang tidak melakukan perbuatan konkret membayar ganti rugi sejumlah uang termasuk dan dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan”

Kemenangan di Mahkamah Konstitusi

Perjuangan panjang ini akhirnya menemui titik terang ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan ahli waris pemilik tanah, dengan menyatakan bahwa Pasal 132 ayat (1) UU No 5 Tahun 1986 tidak dapat dijadikan alasan oleh badan atau pejabat tata usaha negara untuk mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara” (Putusan MK No 24/PUU-XXII/2024)

Pelajaran dari Sebuah Perjuangan

Kisah ini tidak hanya tentang tanah atau uang; ini adalah tentang prinsip dan keadilan. Dari perjuangan yang panjang ini, kita belajar bahwa kegigihan dan ketekunan dalam menuntut hak bisa mengubah keadaan, meskipun harus berhadapan dengan sistem yang tampaknya tidak bisa diubah. Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2024 tidak hanya memberikan keadilan bagi para pemilik tanah partikelir tetapi juga menegaskan kembali bahwa tidak ada yang berada di atas hukum, bahkan pemerintah sekalipun.

Kesimpulan

Kisah kompensasi tanah di Indonesia adalah bukti bahwa perjuangan untuk keadilan memerlukan waktu, kesabaran, dan keteguhan hati. Ini adalah kemenangan bagi para pemilik tanah partikelir dan bagi setiap warga negara yang percaya pada kekuatan hukum dan keadilan. Perjalanan ini mengajarkan kita bahwa di tengah kesulitan dan ketidakpastian, harapan dan keadilan dapat ditemukan, asalkan kita tidak pernah berhenti untuk memperjuangkannya.

Kisah ini memberikan gambaran kepada kita tentang pentingnya memperjuangkan hak dan keadilan, tidak peduli seberapa besar tantangan yang dihadapi. Ini adalah kisah kemenangan, bukan hanya untuk pemilik tanah, tetapi untuk setiap individu yang percaya pada kekuatan hukum dan keadilan.

Apakah kabar ini berguna?

Anda yang tentukan bintangnya!

Tingkat Kepuasan 5 / 5. Jumlah pemberi bintang: 3

Belum ada yang kasih bintang! Jadi yang pertama memberi bintang.

Karena kabar ini berguna untuk anda...

Kirimkan ke media sosial anda!

Anggara Suwahju
Senior Counsel at Chayra Law Center

Accomplished Legal Professional with a Global Perspective and Expertise in Criminal and Constitutional Litigation

Eksplorasi konten lain dari Chayra.ID

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca