“Meskipun memiliki nama yang dikenal, modal yang besar, dan reputasi internasional, beberapa perusahaan pemilik merek asing telah mengalami kegagalan saat bersengketa di Pengadilan Niaga Indonesia. Kasus antara IKEA dan PT Ratania Khatulistiwa merupakan salah satu contoh yang menarik untuk dikaji.”
Memiliki nama yang dikenal, modal yang besar, dan reputasi internasional tidak selalu menjamin kesuksesan di Indonesia. Beberapa perusahaan pemilik merek asing telah mengalami kegagalan saat bersengketa di Pengadilan Niaga Indonesia. Salah satu kasus yang cukup ‘fenomenal’ adalah kasus antara Inter IKEA System BV, pemilik merek toko furnitur terkenal IKEA, dengan PT Ratania Khatulistiwa, yang juga memiliki merek dagang dengan nama IKEA untuk Kelas Barang 20 dan 21.
PT Ratania Khatulistiwa mengajukan permohonan penghapusan pendaftaran merek ke Pengadilan Niaga Jakarta pada tahun 2013, setelah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menolak pendaftaran merek IKEA oleh PT Ratania Khatulistiwa dengan alasan bahwa merek IKEA sudah terdaftar atas nama Inter IKEA System BV.
Dasar permohonan PT Ratania Khatulistiwa adalah Pasal 61 UU Merek, yang saat itu masih berlaku UU Nomor 15 Tahun 2001 sebelum diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2016. Pasal tersebut mengatur tentang alasan untuk mengajukan permohonan penghapusan pendaftaran merek, salah satunya adalah jika merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali jika ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal.
Di pengadilan tingkat pertama, PT Ratania Khatulistiwa menang dalam sengketa merek IKEA dengan Inter IKEA System BV. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta mengamini dalil bahwa Inter IKEA System BV tidak menggunakan merek IKEA selama tiga tahun berturut-turut. Namun, Inter IKEA System BV melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun sayangnya putusan Majelis Hakim Kasasi justru menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta.
Situasi yang sama terjadi pada kasus merek fashion dan kosmetik terkenal Pierre Cardin yang bersengketa dengan Alexander Satryo Wibowo, seorang WNI yang diduga mendaftarkan merek parfum Pierre Cardin ke Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM. Di tingkat pertama, majelis hakim memenangkan Alexander Satryo Wibowo dan di tingkat kasasi upaya hukum Pierre Cardin juga kandas karena Mahkamah Agung menyatakan putusan Pengadilan Niaga Jakarta tidak bertentangan dengan hukum.
Seperti halnya kasus IKEA, putusan kasasi kasus No. 557 K/Pdt.Sus-HKI/2015 juga diwarnai pendapat berbeda.
Salah seorang hakim agung yang tidak disebutkan namanya dalam putusan mengamini dalil Pierre Cardin bahwa Alexander Satryo Wibowo mendaftarkan merek tersebut atas dasar iktikad tidak baik dan secara nyata membonceng merek Pierre Cardin yang tenar di seluruh dunia.
Setelah kandas di pengadilan tingkat pertama dan kasasi, Pierre Cardin mencoba untuk menempuh upaya hukum terakhir yaitu Peninjauan Kembali (PK). Namun sayangnya, meskipun Pierre Cardin mengajukan bukti baru, upaya PK tersebut juga kandas. Dalam Putusan No. 49 PK/Pdt.Sus-HKI/2018, Majelis PK menyatakan menolak permohonan Pierre Cardin dengan alasan formil. Majelis PK menyebutkan bahwa Pierre Cardin sebenarnya pernah melayangkan permohonan pembatalan merek yang serupa pada tahun 1981. Saat itu, lawannya adalah Wenas Widjaja selaku pemilik merek Pierre Cardin sebelum berpindah tangan ke Alexander Satryo Wibowo. Dalam kedua kali pengadilan, yakni tingkat pertama dalam Putusan No. Nomor 363/1981/Pdt.G dan tingkat kasasi dalam Putusan No. 2468 K/Sip/1982, Wenas Widjaja dua kali menang melawan Pierre Cardin.
Ini menunjukkan bahwa meskipun Pierre Cardin memiliki reputasi yang baik dan terkenal di dunia, tetapi hal tersebut tidak selalu menjamin kesuksesan dalam sengketa merek di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memahami hukum merek di Indonesia dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi hak atas merek yang dimiliki.
Apakah kabar ini berguna?
Anda yang tentukan bintangnya!
Tingkat Kepuasan 5 / 5. Jumlah pemberi bintang: 1
Belum ada yang kasih bintang! Jadi yang pertama memberi bintang.
Pandu langkahmu menuju kesuksesan sebagai seorang advokat dengan mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Chayra Institute, bekerjasama dengan DPN PERADI dan PMIH Universitas Pancasila.
Dalam program PKPA, kamu akan dibimbing oleh tenaga pengajar yang berpengalaman dan ahli di bidang hukum. Kurikulum yang disusun secara komprehensif akan memberikan pemahaman mendalam tentang aspek-aspek penting dalam praktik Hukum. Dapatkan pengalaman belajar yang berkualitas dan relevan dengan tuntutan profesi advokat saat ini.
Ikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh Chayra Institute sekarang juga!